Senin, 08 April 2013

Sejarah yang Hilang: Kejayaan Ilmuwan Islam Abad ke-8 s/d 16

Don’t judge the book by its title! Pelesetan dari “don’t judge the book by its cover” mungkin sangat tepat diberikan kepada buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (2009) dengan judul yang sangat panjang: “Ilmuwan-ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern” dengan tambahan “dari Musa al-Khawarizmi di bidang matematika sampai Ibnu Sina di bidang ilmu kedokteran,” dan tambahan lagi: “kisah-kisah yang perlu diingat kembali.” Dari judulnya, kita akan mengira buku ini akan menceritakan kiprah para ilmuwan Muslim dengan hasil karyanya secara terperinci. Ketika kita sudah membaca setengah dari buku ini, kita akan menyadari bahwa bukan seperti itu yang dimaksud oleh penulisnya Ehsan Masood. Buku ini justru membahas cukup komprehensif mengenai sejarah dan perkembangan sains selama masa-masa kekalifahan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW 632 M dan setelah masa-masa empat kalifah (Khalifaur-rasyidin), terutama pada masa Dinasti Abbasiyah (750 – 800 M). Judul aslinya dalam bahasa Inggris sudah sangat tepat: Science and Islam, a History. Masood yang pernah datang ke Jakarta pada November 2007 atas undangan The Wahid Institute adalah seorang penulis dan jurnalis muslim keturunan Pakistan yang lahir pada Agustus 1967 di London dan saat ini tinggal di kota kelahirannya itu. Ia adalah penulis di majalah Nature (bahkan pernah menjadi salah seorang editornya) dan Prospect, serta pembuat situs Opendemocracy.net. Ia juga mengajar di Imperial College London dan menjadi penasihat untuk the British Council dalam bidang sains dan hubungan kebudayaan. Masood membuka bukunya dengan keruntuhan Romawi dengan luluh lantaknya Kota Roma oleh serangan Alaric raja Jerman dari suku Visigoth pada 410 M, dan dipindahkannya ibukota Romawi ke Konstantinopel 66 tahun setelah serangan itu oleh kaisar Romawi terakhir Romulus Augustus. Mulai saat itulah para ahli sejarah menuliskannya sebagai Zaman Kegelapan, zaman ketika peradaban barat tanpa ilmu, sastra, atau bahkan kehidupan yang beradab. Padahal pada masa-masa Zaman Kegelapan Eropa itulah, tidak jauh di Timur Tengah, tumbuh suatu peradaban yang memunculkan temuan-temuan di bidang sains, teknologi, kedokteran dan filsafat yang – sayangnya – tidak diakui (atau setidaknya) diabaikan oleh para sejarawan Barat. Namun demikian, akhir-akhir ini banyak penulis Barat yang mulai menyadarinya. Masa-masa itu disebut sebagai “sejarah yang hilang” oleh Michael Hamilton Morgan dari New Foundation of Peace (National Geographic, 2006), atau bahkan sebagai “pencurian sejarah” oleh sejarawan Jack Goody (halaman 2). Menarik juga komentar Prince of Wales (Pangeran Charles) dalam pidatonya di Oxford University 27 Oktober 1993: “Bila ada banyak kesalahpahaman di dunia barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang utang kebudayaan dan peradaban kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejarah yang kita warisi selama ini.” (kutipan pembuka Bab 1: Mitos Zaman Kegelapan, halaman 1). Bab utama buku ini adalah Bab 5: “Sang Khalifah Sains” yang membahas bagaimana kiprah Khalifah Al-Ma’mun yang berkontribusi besar dalam kejayaan sains. Putra Khalifah Harun al-Rasyid yang bagi kita lebih dikenal melalui Cerita 1001 Malam, menduduki kekuasaannya setelah membunuh saudaranya sendiri. Tetapi ialah yang meletakkan kaidah-kaidah sains yang akan menjadi pelopor sains modern. Sang khalifah sendiri tergila-gila kepada Aristoteles, filsuf besar Yunani. Pada masa kekhalifahannya yang berpusat di Baghdad, ia mengutus para ilmuwan untuk mencari buku-buku dari Barat (Yunani), termasuk dari India atau Persia, untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku itu ke dalam bahasa Arab menghasilkan buku-buku yang menjadi landasan sains di dunia Islam. Hal itu karena para ilmuwan muslim tidak hanya sekadar menerjemahkan karya-karya ilmuwan Eropa, tetapi juga melakukan kritik dan membuat eksperimen-eksperiman baru yang kelak justru membantah temuan-temuan ilmuwan Yunani dan menghasilkan temuan-temuan baru yang brilian. Lucunya, kelak setelah masa-masa kejayaan kekhalifahan surut, karya-karya berbahasa Arab ini kembali dipelajari ilmuwan-ilmuwan Barat dan kemudian memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang dalam sejarah diakui hebat seperti Galileo, Copernicus, termasuk Newton yang lebih modern. Dalam pelajaran sejarah kita, kita akan mendapati bahwa perkembangan sains dan teknologi seolah-olah selalu berasal dari ilmuwan-ilmuwan Yunani dan lalu meloncat ke ilmuwan-ilmuwan Renaisance mulai seangkatan Newton dan kawan-kawan; melupakan masa-masa perkembangannya di dunia Arab (Islam). Pada masa Abbasiyah inilah diperkenalkan penggunaan kertas yang berasal dari China secara luas sehingga buku-buku lebih banyak dibuat. Sistem angka Arab yang kita kenal sekarang (0123456789) diperkenalkan oleh al-Kindi yang justru menyebutnya sebagai angka India. Dari sistem angka India yang memperkenalkan angka 0 inilah kemudian muncul aljabar oleh Al-Khawarizmi. Penggunaan sistem angka India itulah yang memberikan sumbangan revolusi sains yang luar biasa. Temuan-temuan dan pengukuran-pengukuran semakin akurat, terutama di bidang astronomi yang memang sangat diperlukan di dunia Islam untuk penentuan waktu-waktu shalat, awal Ramadhan, termasuk arah kiblat yang akurat. Memang dengan mengusung aliran rasionalisme yang dianut Khalifah Al-Ma’mun dan beberapa ilmuwannya, akhirnya beberapa tokoh muslim tradisional menilai perkembangan sains telah menjauhkan penggunanya dari nilai-nilai keagamaan. Bahkan termasuk Ibnu Sina (Avicennia) sendiri yang terkenal dengan Kanun Kedokteran yang menjadi rujukan kedokteran barat selama berabad-abad, menjadi takabur dengan meyakini bahwa Tuhan dengan sengaja telah membuat dirinya lebih cerdas daripada orang lain, dan harus selalu pasti bahwa ada penjelasan fisika dibalik mukzizat (halaman 88). Tetapi Ibnu Sina juga yang diduga pertama kali menemukan hukum superposisi pada abad ke-11, bahwa lapisan batuan yang berada di bawah akan berumur lebih tua; jauh sebelum menjadi salah satu Hukum Steno yang dipostulatkan pada abad ke-17. Survival for the fittest yang dijadikan salah satu argumen Darwin untuk Teori Evolusinya, bahkan pernah dilontarkan oleh al-Jahiz yang menerbitkan Kitab al-Hayawan (Buku Dunia Hewan) pada abad ke-9. Buku ini membawa kesan bahwa jika ingin memajukan sains harus dimulai dari keinginan penguasa untuk memajukannya. Ilmuwan-ilmuwan muslim selama zaman kekhalifahan itu berhasil berjaya berkat dukungan pemerintah atas usaha-usahanya. Maka ketika Baghdad diserbu cucu Jengis Khan, Hulaku Khan (walaupun kemudian menjadi muslim dan bahkan ikut memajukan sains dan ilmu pengetahuan), inkuisisi Islam di Spanyol, dan berbagai konflik di kalangan berbagai aliran Islam sendiri, perkembangan sains kembali bergeser ke Eropa. Justru temuan-temuan para ilmuwan muslim itu berbalik seolah-olah menjadi bumerang ketika setelah Revolusi Industri di abad ke-18 kolonialisme menjajah negara-negara Islam. Masood menutup bukunya dengan kalimat, “Jika sains ingin dikembalikan ke berbagai negara Islam, sains harus dilakukan tanpa mencampuri hak seseorang untuk memilih agamanya masing-masing.” Sebagai penutup, sangat menarik bahwa buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (Kelompok Kompas Gramedia), penerbit yang rasanya jarang sekali menerbitkan buku-buku bertemakan Islam. Foto EM diunduh dari http://www.guardian.co.uk/profile/ehsan-masood

Tidak ada komentar:

Posting Komentar